Monday, April 13, 2015

KAROMAH WALI

  1. A.    Karomah Wali
    1. 1.      Pengertiang Karomah Wali

Karamah berasal dari bahasa arab (كرم), karamah secara bahasa mengandung tiga pengertian, yakni al-ikram, kemuliaan atau kehormatan; al-taqdir, penghargaan; dan al-wala', persahabatan atau pertolongan. yang berarti kemuliaan, keluhuran, dan anugerah.Menurut istilah pada muamalah (pergaulan) karomah memiliki arti orang yang mulia dan dermawan. karamah merupakan kewenangan mutlak Allah. Hanya Allah yang berhak memberikan karamah kepada siapa saja yang senantiasa dekat dengan-Nya, taat dan ikhlas dalam beribadah kepada-Nya, serta membersihkan dirinya lahir-batin.

Allah mengaruniakan wali-walinya berbagai kejadian luarbiasa. Hal itu diberikan kepadamereka sebagai rahmat dari Allah dan bukan kerana hak mereka.Karamah biasa disebut sebagai kejadian yang luar biasa yang diberikan Allah kepada hamba-hambanya yang selalu meningkatkan ibadahnya dan ketaatannya. Karamah diberikan sebagai suatu pembekalan ilmu atau ujian bagiseorang wali.

Menurut al-Hujwiri (465 H/1072 M) seorang penulis tasawuf, karamah bisa diberikan kepada seorang wali selama ia tidak melanggar ketentuan-ketentuan agama. Sebab karamah itu merupakan tanda kelurusan seorang wali. Allah tidak akan pernah mem­berikan karamah kepada orang yang tidak berpegang teguh kepada syariat, meskipun ia mengaku dirinya wali. Pengakuan orang menjadi wali dan mendapatkan karamah, padahal ia tidak berpegang teguh kepada syariat menunjukkan bahwa pengakuannya sebagai wali itu palsu.

Adapun tujuan dari karomah itu sendiri adalah

  1. Dapat menambah keyakinan kepada Allah.
  2. Untuk menguatkan kepercayaan masyarakat kepada seorang wali, seperti yang terjadi pada masa-masa terdahulu. Berbeza halnya dengan masa-masa terakhir. Kaum salaf salih tidak pernah memerlukan karamah sedikit pun.
  3. Adanya karamah sebagai bukti anugerah, atau pangkat yang diberikan Allah kepada seorang wali, agar pengabdiannya tetap istiqamah

Jikapun Allah tidak berkehendak untuk memperlihatkan karamah bagi seorang mukmin, mungkin kerana Allah swt memang tidak ingin melakukannya, atau mungkin juga seorang mukmin itu memang belum pantas mendapatkannya. Adapun kemungkinan pertama, dapat memberi penilaian yang tidak baik terhadap takdir Allah swt, tentunya hal itu dapat menyebabkan ingkar kepada Dzat Allah. Sedangkan kemungkinan yang kedua adalah takmungkin, sebab hal itu termasuk hal yang batil. Mengetahui Dzat Allah, sifat-sifatnya, perbuatan-perbuatanNya, hukum-hukumNya, nama-namaNya, mencintaiNya, mentaatiNya dan senantiasa menyebutnya dan memujinya, tentunya hal itu lebih mulia dari sekedar memberi se-potong roti, menundukkan seekor ular atau seekor singa.

Para ulama sering menunjuk kisah-kisah di dalam Al-Qur’an sebagai argumentasi adanya karamah.Pertama, kisah Maryam binti 'Imran yang senantiasa memperoleh buah segar bukan pada musimnya, padahal ia tidak pernah keluar dari mihrab, seperti tergambar pada ayat Allah, "Setiap Zakariyya masuk ke dalam mihrab untuk menemui Maryam ia menemukan makanan di sisinya. Zakaria berkata, 'Hai, Maryam!Dari mana kamu memperoleh makanan ini?'Maryam menjawab, 'Makanan itu dari sisi Allah.'Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya tanpa perhitungan.(QS AH Imran 3: 37).

Kedua, kisan ashab al-kahf yang tidur selama tiga ratus sembilan tahun di dalam gua kemudian bangun dalam keadaan sehat walafiat, sebagaimana tergambar pada ayat Allah, "Kamu mengira mereka itu bangun padahal mereka tidur.Kami membolak-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintugua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentu kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentu hati kamu akan dipenuhi ketakutan terhadap mereka (18). Mereka tinggal di dalam gua tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun lagi (25)."(QS al-Kahf 18: 18 dan 25).

Ketiga, kisah sahabat Nabi Sulayman yang dapat memindahkan singgasana Ratu Balqis dari Negeri Saba (Yaman) ke Palestina sebelum Nabi Sulayman mengedipkan mata, seperti tergambar pada ayat Allah, "Berkata-lah seorang yang mempunyai ilmu dari al-Kitab, "Aku akan membawa singgasana kepadamu sebelum matamu berkedip". Maka ketika Nabi Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun berkata: 'Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mencoba aku, apakah aku bersyukur atau mengingkari nikmat-Nya. Dan barangsiapa yang bersyukur maka se-sungguhnya dia bersyukur untuk kebaikan diri-nya sendiri dan barangsiapa ingkar, maka sesung-guhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia.'"(QS al-Naml 27: 40).

Menurut al-Kalabadzi, karena Allah bisa saja memperlihatkan kepada musuh-musuh-Nya sesuatu yang bertentangan dengan kebiasaan dalam bentuk istidraj (ujian yang membawa malapetaka) bagi mereka dan menyebabkan mereka mendapat kebinasaan. Sebab istidraj di dalam diri mereka akan menumbuhkan kesornbongan dan merasa diri mereka mulia. Mereka pun akan memandang-nya sebagai karamah yang pantas mereka miliki berkat amal mereka. Mereka memandang dirinya memperoleh keutamaan dibandingkan orang lain karena ibadahnya. Adapun para wali, jika muncul pada diri mereka karamah dari Allah, mereka bertambah rendah hati, tunduk, dan berserah kepada Allah. Dengan demikian, sikap para wali terhadapa karamah yang diberikan kepada mereka, akan menambah penghargaan Allah kepada mereka. Mereka pun bersyukur kepada Allah atas pemberian karamah kepada mereka.

Karamah atau penghargaan Allah kepada para wali itu selain diberikan dalam bentuk al-firasah, juga diberikan dalam bentuk al-busyra(berita gembira).Al-Qur’an menghubungkan al-busyradengan keteguhan hati dalam meyakini Allah sebagai rabb.Kemudian Allah menurunkan malaikat untuk mendampingi mereka yang memiliki keteguhan hati tersebut sehingga mereka tidak merasa takut dan tidak bersedih, serta menganugrahkan al-busyrade­ngan surga yang dijanjikan kepada mereka. Penjelasan tersebut bisa kita simak pada ayat berikut: "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami adalah Allah, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih; dan bergembiralah kamu dengan memperoleh "surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu". (QS Fussilat 41: 30)

Al-Hakim al-Tirmidzi menyebutkan bahwa al-busyra(berita gembira) adalah al-ru'ya al-salihah, yakni mimpi yang benar, yang diberikan kepada para wali sehingga mereka tidak merasa takut dan tidak bersedi.Abu al-Darda' pernah bertanya kepada Nabi Muhammad SAW tentang al-busyra.Nabi SAW menjawab, "Belum pernah ada seorang pun yang menanyakan al-busyrakepadaku.Al-Busyrai adalah mimpi yang benar yang dilihat oleh seorang hamba. Sesungguhnya mimpi seorang beriman adalah firman Allah yang disampaikan Tuhan kepada hambanya pada saat tidur."

Al-Hakim al-Tirmidzi menambahkan bahwa al-busyrajuga diberikan ke dalam hati seorang wali dalam keadaan yaqzah (sadar). Sebab, menurut al-Hakim al-Tirmidzi, kalbu itu merupakan khazanat Allah (perbendaharaan Tuhan), sehingga Tuhan bisa saja memberikan informasi kepada kalbu orang yang dicintai-Nya dalam keadaan bangun atau sadar .

Dalam pada itu, persoalan karamat al-awliyd' seperti dipaparkan di atas tidak bisa diterima dan disepekati oleh semua orang.Menurut al-Tirmidzi, adanya orang-orang yang menolak karamat al-awliya' disebabkan mereka tidak mengetahui persoalan ini kecuali sekadar kulitnya saja.

Penolakan mereka terhadap karamat al-awliya', disebabkan oleh kadar akses mereka terhadap Allah. Akses mereka terhadap Allah hanya sebatas mengesakannya, bersungguh-sungguh di dalam mewujudkan al-sidq (kejujuran), bersikap benar dalam mewujudkan kesungguhan sehingga mereka meraih posisi al-qurbah (dekat dengan Allah); namun, mereka buta terhadap karunia dan akses Allah kepada hamba-hamba pilihannya.Demikian Juga mereka buta terhadap mahabbah (cinta) dan ra'fah (kelembutan) Allah kepada kekasih-Nya sehingga mereka mendapat karamat al-awliya', yakni keramat para wali.

Para ulama memandang karamat al-awliyd' (keramat para wali) sama dengan mu'jizat al-anbiya (mukjizat para Nabi); namun, mereka menempatkan karamah di bawah peringkat mu'jizat. Sahl ibn Abd Allah al-Tasturi (282 H/896 M) berpendapat bahwa: "Ayat bagi Allah, mu'jizat bagi para nabi, dan karamah bagi para wali dan kaum muslirnin pilihan.

  1. 2.      Pembagian Karomah Wali
  2. Karamah Hissiyyah

Karamah Hissiyyah yaitu karamah yang dapat dirasa dan dilihat dengan mata, seperti dapat berjalan di atas air atau dapat terbang di udara. Karamah pertama yang bersifat hisiyyah dinyatakan al-Hakim al-Tirmidzi dengan istilah al-karamah atau al-ayat yang berarti tanda kewalian.Menurutnya, keberadaan karamah yang bersifat hisiyyah dipersoalkan oleh sebagian ulama eksoteris. Mereka menolak adanya karamat al-awliya' seperti kemampuan berjalan di atas air dan kemampuan memperpendek atau mempercepat jarak perjalanan di bumi. Mereka menolak karena mempersepsikan karamat al-awliya' dari sudut pandang mereka sendiri.Mereka mengira bahwa karamat al-awliyd' tersebut sebenarnya merupakan tanda-tanda kerasulan yang khusus bagi diri para rasulullah.

 

  1. Karamah Ma’nawiyyah

Karamah Ma’nawiyyah yaitu Istiqamahnya seseorang untuk mengabdi kepada Tuhannya, baik secara zahir maupun batin. Karamah macam ini banyak diharapkan para wali-wali Allah. Kata mereka: “Istiqamah lebih baik dari seribu karamah.Al-Hakim al-Tirmidzi menyebut karamah yang kedua yang bersifat ma'nawiyyah dengan sifat al-awliya'' (sifat para wali).Ia merinci al-karamat al-ma'nawiyyah atau sifat al-awliya’(sifat para wali) itu sebagai berikut: Pertama, para wali tidak pernah merasakan cemas terhadap ejekan orang yang mengejek karena hati mereka senantiasa bersama Allah.Kedua, Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai Allah. Ketiga, para wali bersikap rendah hati terhadap orang-orang beriman dan bersikap tegas terhadap orang-orang kafir, bersifat lembut, santun, dan penyayang kepada sesama orang beriman, bukan kelembutan yang lemah, dan bukan pula kelembutan karena tidak ber-pendirian. Keempat, para wali memiliki pendirian yang tegas dan menyatakan diri mereka sebagai pembela Allah, tidak saling mendengki, tidak bersikap radikal, pemarah, dan tidak pula bersikap penindas.Kelima, Allah telah menggoreskan keimanan di dalam hati mereka, dan mereka senantiasa menghiasi kalbu mereka dengan kecintaan kepada keimanan dan membenci sikap dan perbuatan yang dapat mengurangi keimanan.

Paparan di atas menyatakan dua hal penting.Pertama, para wali penerima firasat itu demikian dekat dengan Allah.Hijab atau tabir sudah terangkat dari dalam dirinya.Ia memandang dengan cahaya Tuhan. Pandangannya menembus batas-batas ruang dan waktu.Kedua, firasat itu bagian dialog Tuhan dengan para wali. Dialog Tuhan itu tidak hanya berlangsung dengan para nabi, tetapi juga berlangsung dengan orang-orang beriman, baik umat para nabi terdahulu maupun umat Nabi Muhammad SAW. Di antara umat Nabi Muhammad SAW yang pernah berdialog dengan Allah adalah Umar ibn al-Khattab.

Kedua jenis karamah tersebut, baik yang bersifat fisik maupun yang bersifat ma’nawi, menurut pandangan al-Hakim al-Tirmidzi, merupakan penghargaan dari Allah kepada para kekasihnya.Penghargaan tersebut selain diberikan dalam bentuk karamah seperti yang sudah disebutkan, juga diberikan oleh Allah kepada para wali dalam bentuk al-firasah.Menurutnya, al-firasah itu merupakan bagian dari al-hadits (dialog Tuhan dengan para wali). Jika Allah telah memberikan al-firasah kepada para wali, maka Allah tidak akan membiarkan setan menghapus firasat itu dari dalam kalbunya. Al-Hakim al-Tirmidzi meyakini bahwa para wali mendapatkan al-firasah karena hijab di antara mereka dengan Allah sudah terangkat.Ia memperkuat pandangannya tentang adanya al-firasah tersebut dengan mengutip sabda Nabi yang berikut: "Hendaklah bersikap hati-hati terhadap firasat orang beriman karena sesungguhnya orang beriman itu memandang dengan cahaya Allah." (HR Bukhari dan al-Tirmidzi).Selain itu, dari A'isyah, Nabi bersabda, "Sungguhpada umat terdahulu terdapat orang-orang yang berbicara dengan Tuhan.Jika salah seorang mereka ada pada umatku, tentu dia adalah 'Umar ibn al-Khattdb".(HR Muslim).

Keberadaan karamah bagi para wali dapat disepakati oleh para ulama.Namun, tidak ada korelasi antara penerimaan karamah bagi para wali dengan keharusan menetapkan ismah (keterpeliharaan dari berbuat dosa) bagi mereka. Keharusan menisbahkan ismah kepada selain nabi hanya disepakati oleh kalangan Syi'ah saja.Kaum Syi'ah mengharuskan ismah bagi para imam mereka. Hisyam ibn al-Hakam, memandang bahwa: "Sesungguh-nya seorang imam itu lebih perlu memiliki ismah daripada seorang nabi, sebab seorang nabi mendapatkan wahyu sehingga Allah membentenginya dari kesalahan sedangkan imam tidak mendapatkan wahyu sehingga ia perlu memilikinya.

Abu Hurairah menyebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda: ” Adakalanya seorang hina yang biasa ditolak bila mengetuk pintu orang namun jika ia berdoa pasti terkabulkan”(hadits riwayat muslim). Di lain kesempatan Rasulullah saw bersabda Takutlah kamu dengan firasat seorang mukmin, sesungguhnya ia melihat dengan cahaya Allah.” (hadits riwayat tirmidzi, thabrani, ibnu Adi dan An-Najar didalam kitab at-Tarikh).

Dalam pada itu, al-Hakim al-Tirmidzi (320 H/935 M/) memandang karamat al-awliya' merupakan alamat al-awliya' fi al-zahir (ciri-ciri para wali secara lahiriah) yang juga dinamakannya al-ayat (tanda-tanda kewalian). Menurutnya, ada enam ciri pokok para wali secara lahiriah.

  1. Para wali adalah orang-orang yang apabila orang-orang muslim berzikir kepada Allah, mereka pun turut berzikir dan jika para wali berzikir, maka kaum muslimin yang berada satu majelis dengan mereka pun kalbunya terbawa berzikir kepada Allah.
  2. Para wali memiliki al-firasah (firasat), yakni kecerdasan emosi untuk merasakan dan menangkap sesuatu yang dirahasiakan oleh orang lain.
  3.  Para wali mendapat ilham dari Allah.
  4. Adanya kesepakatan semua orang bahwa mereka yang disebut para wali  adalah orang-orang terpuji.
  5. Doa mereka dikabulkan oleh Allah.
  6. Kadang-kadang munculnyatanda-tanda kewalian atau karamah pada diri mereka. seperti kemampuan memperpendek atau mempercepat jarak tempuh perjalanan di bumi atau dapat berjalan di atas air.[1]


[1]Ensiklopedia Tasawufjilid 3, (Bandung: Angkasa, 2008)

No comments:

Post a Comment